Wednesday, May 2, 2012

Menghitung Berkat

Ternyata memang berkat itu tidak bisa dihitung. Ketika itu hari minggu, aku memulai hariku dengan bangun pukul 05.30. Aku beranjak dari tempat tidur kemudian melakukan ritual cuci muka dan menggosok gigi. Ketika aku pergi menjemput pacarku, Riril, untuk sekedar lari pagi di alun-alun kota, matahari yang muncul perlahan dari ufuk timur membuatku sangat takjub. Ia memancarkan cahaya keemasan yang berkilau dengan indahnya.
Aku sampai di depan rumahnya. Mamanya yang sedang mencuci mobil menyapaku dengan senyuman hangat, senyuman khas ibu. Menit berlalu. Aku sudah kelelahan. Mungkin karena aku terlalu banyak merokok, tapi buatku, 5 putaran sudah merupakan suatu prestasi yang membanggakan. Tentu saja karena dukungan dari pacarku. Entah kapan aku lari pagi sebelum hari ini terjadi. Tenaga sudah terkuras habis, perutpun mulai protes. Satu berkat lagi karena aku menikmati semangkuk soto yang lezat. Warung soto itu sudah bertahun-tahun ada di perempatan, tapi tak sekalipun aku pernah mengunjunginya. Rasa enak ini mungkin juga karena pengaruh alm. eyang kakung Riril, warung soto ini merupakan salah satu favoritnya. Kami pun menghabiskan beberapa jam di warung soto itu hanya untuk sekedar berbagi cerita dan bercanda. Singkat cerita, saya berencana untuk pulang mengantar Riril melewati jalan yang memutar, bukan jalan biasanya yang saya lalui. Tetiba, mata ini tertarik untuk melihat sebuah baliho. Wow! Ternyata di kota kelahiranku ini ada sekolah berkuda, namanya Arrowhead.
Spontan saja, kami menyetujui untuk menyempatkan mengunjungi tempat itu sebelum pulang ke rumah. Dari kejauhan aku mulai melihat banyak kuda yg dibiarkan berkeliaran di tanah lapang. Ini pemandangan yang jarang saya lihat. Hewan yang eksotik namun tak lepas dari kesan perkasanya. Saya hanya berencana untuk melihat-lihat saja pada awalnya, tapi pelayanan dari Arrowhead memang patut diacungi jempol. Seorang petugas menghampiri dan kemudian menjelaskan secara singkat tetang Arrowhead, bahkan kami diberikan tur singkat di sekitar peternakan. Tentu saja semua layanan itu diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Kamipun memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya tentang apapun yang ingin kami ketahui. Aku terpesona oleh seekor kuda yang memiliki warna putih di kepalanya.
Matahari sangat terik siang itu. Dahagapun memberontak tak tertahankan. Entah kenapa, tiba-tiba ada penjual es Tebu di pinggir jalan ketika menuju rumah Riril. Aku ingat, terakhir minum es Tebu tahun 2008 di Kediri. Benar-benar pelepas dahaga. Hanya dengan Rp 2000,- dapat menyempurnakan siang itu. Yang unik dari penjual es Tebu itu adalah ia menggiling tebu ketika ada pembeli. Tidak perlu diragukan lagi keasliannya.
Sisa siang itu kuhabiskan dengan bersantai di rumah Riril. Sore menjelang. Sebagai seorang yang beragama kristen, sudah sewajarnya untuk beribadah ke gereja. Sepulang dari gereja, aku dan Riril berencana untuk makan malam di kedai kopi. Sesaat sebelum sampai tempat itu, aku bertemu dengan teman, karena menurutku kami hanya akan bersantai jadi tidak ada salahnya untuk mengajak teman. Malam kuhabiskan untuk mendengar dan berbagi cerita keluh kesah. Sungguh saat yang menyenangkan ketika kamu dapat berbagi sekaligus mendengar cerita dari orang lain. Aku sangat menikmati hari itu. Entah berapa berkat yang aku terima pada hari itu, hari kemarin, dan hari-hari berikutnya. Aku bahagia.

No comments:

Post a Comment